Hukum ‘Pagang Gadai’ di Minangkabau

          Pagi awal tahun baru 2018 M, saya dapat telpon dari sahabat Ibu saya yang sekarang sudah menjadi warga negara Australia. Saya memanggilnya ‘etek’ yang berarti bibi. Ramadhan tahun lalu, ketika mendapat amanah sebagai Dai Ambbassador Dompet Dhuafa, saya sering berjumpa beliau di Sydney. Ternyata ia ingin menanyakan sesuatu. Ia berkata: “Yendri, ada yang ingin etek tanyakan. Ini terkait dengan ‘pagang gadai’ yang etek terima belasan tahun yang lalu (sekitar tahun 90-an). Waktu itu ada orang yang datang ingin meminjam uang. Sebagai jaminannya ia menyerahkan sawahnya. Sawah itu etek kelola dan nikmati hasilnya sampai hari ini. Nah, beberapa hari yang lalu etek mendengar pengajian bahwa hal itu adalah riba dan haram hukumnya. Etek jadi takut. Sampai-sampai etek tidak bisa tidur. Benarkah etek telah memakan harta riba?”
Saya berjanji pada etek itu untuk mengkaji masalah ini lebih serius sejauh kemampuan yang ada.
          Masalah yang ditanyakan etek itu, di Minangkabau dikenal dengan istilah ‘pagang gadai’. Bentuk masalahnya seperti ini: ada orang yang sedang membutuhkan uang tunai. Lalu ia datang ke seorang yang kaya di kampung itu. Orang kaya itu baru mau memberikan pinjaman kalau ada jaminan. Biasanya benda yang dijadikan jaminan adalah sawah, karena memang uang yang ingin dipinjam dalam jumlah yang besar. Sawah yang dijadikan jaminan itu akan dikelola oleh orang kaya tersebut. Berarti ia juga yang akan menikmati hasilnya. Sawah itu baru akan kembali ke tangan si peminjam kalau ia sudah bisa mengembalikan hutang yang dipinjamnya.
          Cara seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun di berbagai daerah di Sumatera Barat. Ketika masalah ini ditanyakan kepada beberapa ulama dan ustadz, sebagian besar dari mereka menjawab haram karena ini termasuk dalam kategori riba. Saya pribadi sebelumnya juga berpendapat seperti itu dan bahkan menyampaikan hal ini dalam khutbah Jumat di kampung. Walaupun sebenarnya saya sendiri belum mengkaji masalah ini secara lebih mendalam dan serius. Padahal saya pernah membaca sekilas dari beberapa sumber dan mendengar dari beberapa ulama Timur Tengah bahwa masalah seperti ini pernah difatwakan boleh oleh ulama Hanafiyyah dari daerah ma wara` an-nahr (daerah-daerah yang saat ini berada di bawah Rusia).
           Dalil yang saya gunakan saat itu, dan yang juga digunakan oleh para ulama dan ustadz yang mengharamkan jenis muamalah ini, adalah hadits yang masyhur:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap pinjaman yang membawa kepada manfaat maka itu adalah riba.”

            Karena etek tadi menunggu jawaban masalah ini maka saya segera membuka dan mengkaji beberapa kitab untuk menemukan jawaban yang tepat. Saya ingin meminta masukan dan pengayaan dari para ulama, ustadz, dan para thalabatul ‘ilm yang konsen dengan masalah fiqih.
Status Hadits
Hal pertama yang saya lakukan adalah mengkaji kembali status hadits yang dijadikan sebagai dasar untuk mengharamkan praktek ‘pagang gadai’ seperti disebutkan di atas.
Hasil penelitian sementara saya adalah hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Harits bin Usamah dari Ali bin Abi Thalib ra, dengan redaksi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Hadits ini dicantumkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Jami’ ash-Shaghir. Ia meletakkan simbol ض di akhir hadits, yang berarti bahwa hadits ini dhaif (lemah). Imam Munawi, pengarang kitab Faidhul Qadir syarah terhadap Jami’ Shaghir, menukil pendapat Imam Sakhawi yang mengatakan: isnaduhu saqith (sanadnya jatuh sekali). Lalu ia menambahkan: “Di dalam sanadnya juga ada Siwar bin Mush’ab. Ad-Dzahabi mengatakan: Ahmad dan Daruquthni mengatakan: Siwar ini matruk.” (Faidhul Qadir 5/28).
Dalam ilmu mustalah hadits dijelaskan bahwa kalau dalam sebuah hadits ada rawi yang dikatakan: matruk, maka haditsnya dha’if jiddan (lemah sekali). Apalagi Imam Sakhawi sendiri tegas mengatakan kalau sanadnya sangat jatuh.
Hadits senada juga diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari Fadhalah bin Ubaid dengan redaksi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوْهِ الرِّبَا
“Setiap pinjaman yang membawa pada manfaat maka itu adalah satu bentuk dari riba.”

Namun hadits ini mauquf. Artinya hadits ini berasal dari Fadhalah (sahabat) bukan dari Nabi Saw. Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam at-Talkhis al-Habir mengatakan bahwa hadits-hadits senada juga diriwayatkan dari sahabat-sahabat Nabi yang lain seperti Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas, tapi semuanya adalah mauquf.
Imam Umar bin Badr al-Maushili dalam kitabnya al-mughni ‘an al-hifzh wal kitab bahkan menegaskan kalau sesungguhnya tidak ada satupun hadits yang shahih dalam hal ini. Lalu ia berkata: “Dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa Nabi Saw pernah meminjam satu sha’ lalu mengembalikannya dua sha’.” (al-Mughni 2/403). Komentar beliau ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa ungkapan ‘setiap pinjaman yang membawa manfaat adalah riba’ tidak sepenuhnya benar, karena ada hadits shahih yang sekilas ‘tidak sejalan’ dengannya.
Ini poin pertama yang saya kira perlu mendapat perhatian, karena mayoritas para ulama menetapkan bahwa hadits dha’if (lemah) tidak bisa digunakan untuk menetapkan hukum, terutama menyangkut halal dan haram.
Kaidah Umum
Walaupun demikian, terlepas dari status hadits ini yang sangat lemah (secara marfu’, tapi shahih secara mauquf), sebagian besar para ulama menjadikan hadits ini sebuah kaidah umum, yaitu “setiap pinjaman yang membawa manfaat (bagi orang yang meminjamkan) maka itu adalah riba”. Misalnya, ada orang yang berkata: “Saya pinjamkan engkau uang 10 dirham, tapi engkau kembalikan nanti 15 dirham.” Atau, “Saya pinjamkan engkau uang 10 dirham dengan syarat engkau pinjamkan kendaraanmu padaku.”
Ini artinya, Islam menganjurkan umatnya untuk memberikan pinjaman pada saudaranya sesama muslim secara ikhlas, tidak mengharapkan keuntungan apa-apa, selain pahala dari Allah Swt. Inilah yang disebut dengan al-qardh al-hasan atau pinjaman murni.
Tapi, ketika akhlak umat Islam tidak lagi se-ideal akhlak para sahabat Nabi yang memberikan pinjaman secara murni dan ikhlas, dan banyak orang kaya yang enggan memberikan pinjaman kecuali kalau ada manfaat yang mereka peroleh, maka masalah ini perlu mendapatkan kajian fiqih khusus. Karena, ketika akhlak manusia semakin merosot akan muncullah berbagai wacana fiqih yang baru, dan semua itu memerlukan ijtihad baru pula untuk menyikapinya.
Takyif Fiqhi
Dalam mengkaji setiap masalah baru yang terjadi di masyarakat, hal mendasar yang mesti dilakukan adalah apa yang disebut dengan istilah takyif fiqhi. Takyif fiqhi maksudnya adalah menemukan akar masalah yang dikaji dan kecocokannya dengan pembahasan-pembahasan fiqih yang sudah ada. Sebagai contoh misalnya, masalah begal. Untuk menghasilkan hukum yang tepat terhadap masalah ini, perlu ditemukan terlebih dahulu takyif fiqhi yang pas; apakah ia tergolong ke dalam kategori: as-sariqah (pencurian), al-ghasb (perampasan), qath’u ath-thariq (penyamunan) atau bab-bab fiqih yang lainnya. Ketika sudah ditemukan takyif fiqhi yang tepat, baru bisa disimpulkan apa hukum yang tepat untuk masalah begal yang menjadi objek kajian.
Untuk melakukan takyif fiqhi kita mesti memahami secara tepat karakter masalah yang sedang dikaji (faktor kemunculannya, sifatnya, dampak yang ditimbulkannya dan sebagainya) dan apakah ia benar-benar pas dengan bab fiqih tertentu yang ingin kita rujuk. Dalam masalah begal tadi misalnya, kita mesti memahami penyebab munculnya fenomena begal itu, dan apakah ia benar-benar sama dengan, misalnya, al-ghasb (perampasan) dalam fiqih klasik yang ingin kita rujuk, atau lebih mirip dengan qath’u ath-thariq?
Kembali ke masalah ‘pagang gadai’. Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah apa takyif fiqhi yang tepat untuk masalah ini? Perbedaan dalam menentukan takyif fiqhi ini pasti berdampak pada perbedaan dalam menyimpulkan hukum akhir untuk masalah ini. Dan memang di sini letak perbedaan pendapat para ulama.
Apakah ‘Pagang Gadai’ Pinjaman Biasa?
Mereka yang melihat praktek ‘pagang gadai’ yang berlaku di masyarakat sebagai sebuah praktek ‘pinjam-meminjam’ biasa, tentu akan berkesimpulan bahwa hukumnya adalah haram, berdasarkan hadits di atas (meskipun statusnya sangat lemah sebagaimana dijelaskan di atas). Karena setiap pinjaman yang membawa manfaat (bagi orang yang meminjamkan) berarti itu riba. ini artinya takyif fiqhi yang dipilih dalam hal ini adalah al-qardh (pinjaman).
Tapi, sebenarnya masalah ini tidak tepat jika dikategorikan sebagai pinjaman murni (al-qardh al-hasan) karena di dalamnya ada unsur jaminan (berupa sawah). Namun untuk dimasukkan dalam bab ar-rahn (penggadaian) juga tidak tepat karena pihak yang memberikan pinjaman bisa memanfaatkan barang yang dijadikan sebagai jaminan. Dikategorikan sebagai jual beli juga tidak pas, karena si pemilik sawah bisa memiliki kembali sawahnya ketika hutangnya sudah dilunasi.
Karena keunikannya inilah maka para ulama berbeda pendapat dalam menyimpulkan hukum jenis muamalah ini, bahkan dalam memberikan namanya. Sebagian fuqaha Syafi’iyyah memberi nama praktek ini dengan ar-rahn al-mu’ad (gadai yang dikembalikan). Sebagian ulama di Mesir dulu menamakannya dengan bai’ al-amanah. Di Syam dinamakan dengan bai’ al-itha’ah. Kalangan fuqaha Malikiyyah menamakannya dengan bai’ ats-tsunya. Kalangan Syafi’iyyah ada juga yang menamakannya dengan bai’ al-‘uhdah atau bai’ an-nas. Kalangan Hanabilah menamakannya dengan bai’ al-amanah (lihat buku ‘aqd al-bai’ karya Syekh Musthafa Ahmad az-Zarqa`).
Sementara itu kalangan Hanafiyyah menamakannya dengan bai’ al-wafa`. Inilah nama yang lebih pas dan populer untuk praktek muamalah seperti ini.
Definisi Bai’ al-Wafa`
Bai’ al-wafa` adalah ketika seseorang yang membutuhkan uang tunai menjual barang tak bergerak (‘aqar) yang dimilikinya atas dasar bahwa ketika ia sudah bisa mengembalikan uang itu ia bisa kembali memiliki barang yang dijualnya.
Mungkin timbul pertanyaan, bukankah dalam praktek ‘pagang gadai’ yang digunakan adalah kata-kata ‘meminjam’ dan ‘menggadaikan’, sehingga ia lebih tepat dikategorikan sebagai akad al-qardh atau ar-rahn bukan akad bai’ al-wafa` yang menggunakan kata ‘menjual’? Kita jawab: memang redaksi yang sering dipakai dalam ‘pagang gadai’ adalah ‘meminjam’ bukan ‘menjual’. Tapi yang terjadi sesungguhnya dalam praktek ‘pagang gadai’ adalah jual beli, bukan sekedar ‘meminjam’, karena si pemberi pinjaman memiliki hak untuk memanfaatkan barang yang dijadikan jaminan (yang lebih tepat disebut sebagai barang yang dijual yaitu sawah).
Tapi karena ia hanya memiliki hak untuk memanfaatkannya dan bukan untuk memilikinya selama-lamanya, maka akad ini disebut dengan bai’ al-wafa` (yang secara harfiah bisa diartikan: jual beli dengan janji), bukan jual beli murni. Dalam masalah fiqih, yang menjadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan lafaz dan redaksi (العبرة فى العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني).
Sejarah dan Penyebab Kemunculannya
Praktek bai’ al-wafa` ini terjadi pada pertengahan abad kelima hijriah dan tersebar luas di daerah Balkh dan Bukhara. Penyebab munculnya –seperti yang dijelaskan Syekh Mustafa Ahmad az-Zarqa`- adalah ketika banyak orang kaya tidak lagi tertarik memberikan qardhul hasan yang tidak mendatangkan manfaat materi apa-apa. Sementara itu banyak orang miskin yang datang pada mereka dan memerlukan bantuan berupa pinjaman uang tunai. Di saat yang sama mereka juga takut jatuh dalam dosa riba.
Akhirnya dibuat satu akad baru yang dinilai jauh dari bentuk riba dan bisa menguntungkan kedua belah pihak; si miskin mendapatkan pinjaman berupa uang tunai tanpa perlu melepas hartanya selama-lamanya, sementara si kaya termotivasi untuk memberikan pinjaman dan uang tunai yang dimilikinya tidak nganggur begitu saja. Maka muncullah akad yang disebut bai’ al-wafa` dimana si pembeli (dalam hal ini orang yang memberikan pinjaman) berkomitmen untuk mengembalikan barang yang dijual (dalam hal ini adalah sawah) ketika si penjual (dalam hal ini orang yang membutuhkan uang tunai) telah mengembalikan uang tersebut.
Kemiripan Dengan Jual Beli dan Gadai
Dari satu sisi, bai’ al-wafa` mirip dengan jual beli biasa, karena si pemberi pinjaman (pembeli sawah) memilik hak untuk memanfaatkan barang yang dijadikan sebagai jaminan. Tapi dari sisi lain ia mirip dengan gadai karena si pemberi pinjaman berkomitmen untuk mengembalikan barang jaminan (yaitu sawah) pada si peminjam (pemilik asli sawah) ketika ia sudah mampu melunasi hutangnya.
Pendapat Para Ulama
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi bai’ al-wafa` ini. Ada yang melihatnya sebagai jual beli murni lalu menyimpulkan bahwa hukumnya boleh. Ada yang melihat bahwa syarat yang dikandungnya (barang yang digadaikan bisa kembali pada si penjual) adalah syarat yang rusak. Dengan demikian berarti akadnya sendiri rusak dan tidak sah. Ada juga yang berpendapat bahwa akad ini sesungguhnya adalah rahn (gadai). Dengan demikian berlaku terhadapnya segala hukum gadai. Imam Najmuddin an-Nasafi dalam fatwanya mengatakan bahwa akad ini hanyalah hilah (cara) untuk mendapatkan keuntungan dengan jalan riba, meskipun dinamakan dengan bai’ al-wafa`, padahal hakikat sesungguhnya adalah rahn (gadai).
Bisa disimpulkan bahwa sebagian besar ulama mutaqaddimin berpendapat jual beli jenis ini adalah haram. Tapi ketika praktek seperti ini sudah sangat meluas dan menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan (ketika orang-orang kaya enggan meminjamkan uang secara murni tanpa keuntungan apa-apa) maka ulama-ulama muta`akhkhirin mengkaji ulang masalah ini.
Mereka –para ulama muta`akhkhirin- melihat bahwa tujuan pokok dari akad ini ada tiga:
1. Memberikan si pembeli (orang yang akan memberikan pinjaman) hak untuk memanfaatkan barang yang dijual. Ini adalah tujuan utama dari akad bai’ al-wafa'.
2. Ada hak pembatalan (fasakh) yang dimiliki oleh kedua belah pihak.
3.Pembeli menjamin barang yang dijual (tidak akan rusak atau dijual kepada pihak lain).

Dengan demikian akad ini adalah sesuatu yang baru dan berbeda sama sekali dari akad-akad lain. Ia bukanlah gadai murni. Uang yang diberikan oleh si pemberi pinjaman (pembeli barang) bukan juga hutang murni.
Kesimpulannya, akad ini dibolehkan karena ada kebutuhan untuk itu. Beberapa hukum yang mereka tetapkan untuk akad ini adalah sebagai berikut:
1.Si pembeli dalam bai’ al-wafa` memiliki hak untuk memanfaatkan barang yang dijual.
2. Pembeli punya hak untuk menyewakan barang tersebut bahkan kepada si penjual sendiri (sementara dalam kasus gadai murni, pemegang gadai tidak boleh menyewakan barang yang digadaikan, baik pada orang yang menggadaikan maupun pada orang lain, karena ia tidak punya hak untuk memanfaatkan barang itu).
3. Kedua belah pihak sama-sama punya hak untuk membatalkan akad.
4. Pembeli tidak punya hak untuk memiliki barang yang dijual.
5. Masing-masing pihak (pembeli dan penjual) tidak punya hak untuk memperlakukan barang tersebut layaknya seorang pemilik penuh, seperti menjual atau menggadaikannya, tanpa izin dari pihak yang lain.

Jadi, substansi dari bai’ al-wafa` ini sesungguhnya adalah akad jual beli dengan syarat barang akan dikembalikan (pada si penjual) jika harganya dikembalikan (pada si pembeli). Kalau dilihat dari sisi ini maka bai’ al-wafa` adalah sesuatu yang halal. Tapi jika dilihat dari sisi bahwa ia adalah akad gadai atas dasar pinjaman, lalu disyaratkan bahwa barang yang digadaikan boleh dimanfaatkan oleh si pemegang gadai (yang memberikan pinjaman) selama hutang masih dalam tanggungan orang yang menggadaikan (penjual), maka tentunya akad ini menjadi haram berdasarkan hadits di atas. Jadi memang tergantung dari sudut mana akad ini dipandang. Wallahu a’lam.

Comments

  1. Masya Allah ust. Bagusnya antum bikin buku ust. Pembahasan yg gamblang mendalam

    ReplyDelete
  2. Tdk tepat pendapat penulis ini yg menyimpulkan praktek pagang gadai di Minagkabau sebagai jual beli bersyarat walaupun akad nya gadai. Justru harta pusaka tinggi yang disebut jg sbg manah (amanah nenek moyang) itu di Minangkabau pantang utk dijual.
    Gadai justru utk menghindari terjadinya penjualan suatu manah, dg harapan suatu saat ada kemenakan yg sukses, bisa menebus kembali.

    ReplyDelete
  3. Yg sesungguhnya terjadi: gadai yg tdk sesuai dg syariat Islam, boleh jadi karena ketidaktahuan, bisa juga karena kelalaian ulama selama ini yg tdk memperingatkan.
    Bahkan bisa jg sebagai bukti, bhw undang yg sering diucapkan 'adaik basandi syara' syara' basandi kitabullah' lbh banyak diucapkan daripada dilaksanakan.
    Pagang gadai yg syar'i, mestinya memperhitungkan hasil bersih dari panen sawah sebagai cicilan hutang yg dikonversi dg emas. Sehingga bertahun hutang tsb telah dicicil maka tinggal menyepakati apa sdh lunas atau msh ada sisa...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Membalas Kesombongan dengan Kesombongan (QS. al-Baqarah [2] : 30-33)

Kandungan Makna Taat dalam QS. an-Nisa ayat 59