Proses Tahapan al-Qur’an dalam Pengharaman Riba
1). Memberikan sindiran dengan perbandingan (QS. al-Rum[30] : 39
Bahwasannya
pratek ekonomi yang di jalankan denga cara riba maka apa yang di lakukan itu
bukanlah suatu keuntungan atau kelebihan di sisi allah (فلا يربوا عند الله).
Di sini Allah ingin mendudukkan permasalahan mana yang sebenar-benarnya untung
dunia akhirat dan mana yang tidak. Riba pada hakikatnya memang beruntung bagi
yang melakukannya, tetapi bagi Allah untung banyak yang mereka dapat dari riba
tidak ada artinya. Dan ini merupakan proses perubahan paradigma dalam menilai
sesuatu itu untung atau tidak.
Kemudian
setelah merubah paradigma tersebut maka kemudian Allah membuat ajaran baru
yaitu zakat. Zakat itu mengeluarkan uang atau harta yang secara materil tidak ada
untungnya, namun secara substansi di mata Allah untungnya lebih besar yaitu
berupa pahala. Dan di
sini Islam ingin memberi pelajaran
bahwa yang dicari dalam harta itu tidak hanya keuntungan materil tapi
juga keridhohan Allah dan pahala. Oleh karena itu, kalau orang ingin maju dalam
usahanya makanya jangan memakai riba tetapi pakai infak, zakat atau sedekah.
Dan ini tidak masuk akal menurut pemikiran orang kapitalis. Padahal kalau
mereka mau berfikir secara jernih kalau mereka berinfak itu malah uangnya jadi
bisnis yang bersih, karena bersih dia menjadi sehat, karena sehat dia menjadi
tumbuh, karena tumbuh dia membawa keberuntungan. Namun di dalam Islam zakat
infak dan sedekah itu juga ada aturannya yaitu tidak boleh berlebihan seperti
ada nisab dan haulnya. Maka disini butuh kebijaksanaan seorang muslim kapan
harus berinfak atau berzakat.
2). Pelarangan riba sudah ada dahulu untuk orang Yahudi. (An-Nisa[4] : 160-161)
Ayat ini
menceritakan tentang kezhaliman orang Yahudi (فبظلم
من الذين هادوا ) dimana tokoh
agamaya memanfaatkan posisinya untuk meraup uang dari jamaah dengan banyak
memakan harta orang secara tidak halal, salah satunya adalah dengan cara riba (وأخذهم الربا). Seperti
meminjamkan uang melalui kas gereja kemudian memintanya mengembalikan uang itu
dengan lebih atau riba. Dan ini merupakan sindiran Allah SWT kepada orang Yahudi
dan sekaligus menjadi pelajaran supaya jangan diikuti oleh umat Islam.
3). Larangan Memakan Riba yang
berlipat ganda. (QS. Ali Imran [3] : 130
Dalam ayat ini
sudah mulai ada pelarangan dengan menyatakan jangan memakan riba secara lipat
ganda (لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة). Namun masih ada celah seolah-olah makan
riba sedikit masih boleh. Ini merupakan salah satu strategi dakwah dimana suatu
perbuatan yang ingin dilarang itu jangan dulu disampaikan secara frontal. Ini cuman
pandangan sekilas saja, akan tetapi pada dasarnya menurut para Ulama intinya
bahwa inilah awal pertama al-Qur’an melarang secara tegas praktek riba meskipun
ditambah dengan kata “berlipat ganda”. Itu dipahami hanya sebatas penjelasan
tambahan saja yang pada intinya bahwa praktek riba itu dilarang.
4). Pengharaman riba secara tegas
(QS. Al-Baqarah [2] : 275-280
Proses pertamanya
Allah SWT mengatakan bahwa orang yang melakukan riba diibaratkan seperti orang
yang kesetanan (يتخبطه الشيطان من المس). Itu merupakan gambaran tentang begitu buruknya
perilaku Riba. Kalau orang yang tidak terpengaruh oleh syeitan tentu dia tidak
akan mau memakan riba.
Selanjutnya
yang kedua baru Allah nyatakan bahwa riba itu haram (وحرم
الربا). Ketiga, Allah
menyatakan bahwa orang yang berpegang teguh pada Islam itu harus meninggalkan ما بقي من الربا (apa pun yang
berhubungan dengan riba termasuk sisa-sisanya. Artinya perbuatan yang mirip
atau sejenis dengan itu harus dihentikan). Keempat, kalau seandainya ada orang
yang tetap saja melakukan riba maka berarti dia seperti mengajak Allah dan RasulNya berperang (فأذنوا بحرب من الله ورسوله). Itu artinya bahwa Allah ingin mengatakan bahwa orang yang
memakan riba adalah musuhnya.
Dan yang
terakhir bahwa di dalam Islam itu tidak semuanya dikunci mati (adanya ruang
darurat). Bahwa dalam transaksi utang-piutang atau pinjam-meminjam apabila
peminjam/pengutang tidak bisa membayar pada waktu temponya maka dikasih
kelonggaran (فنظرة إلى ميسرة)
tapi kalau seandainya memang betul-betul tidak sanggup dan peminjam
memang betul-betul mengalami kesulitan kalau memang layak maka jika pemberi
hutang bisa dan sanggup maka dimaafkan hutangnya dan dijadikan sedekah (وأن تصدقوا خير لكم)
ini merupakan pilihan terakhir.
Conceptor : DR. Risman Bustamam,
M.Ag.
Writter : Yogi Imam, LC. M.Ag
Comments
Post a Comment